TRAGEDI PENYERANGAN DAN PEMBANTAIAN WARGA MASYARAKAT PADA BEBERAPA DESA/DUSUN DI PULAU AMBON

Pada sore dan malam hari Selasa, tanggal 19 Januari 1999 (masih dalam suasana Idul Fitri), terjadi kerusuhan dan pembakaran di dalam kota Ambon, daerah Batu Merah, Mardika, Silale dan di beberapa tempat lain. Peristiwa ini didahului dengan suatu peristiwa kriminal biasa yang terjadi sebagai akibat dari tindakan seorang pemuda asal Bugis yang berdomisili di Batu Merah, yang memeras seorang pemuda Ambon (sopir angkot) yang bernama JOPY, yang akhirnya berlanjut dengan pembakaran rumah-rumah penduduk dan rumah-rumah Ibadah, serta perkelahian dan pembunuhan antar warga yang beragama Kristen dan yang beragam Islam, malah pada daerah-daerah tertentu, pembakaran rumah-rumah penduduk didahului dan diakhiri dengan aksi penjarahan (pencurian). Akibat kerusuhan ini, beberapa desa dan dusun di Pulau Ambon ikut menjadi sasaran kerusuhan tersebut.

  1. Dusun Telaga Kodok dan Benteng Karang

Pada pagi hari Rabu, tanggal 20 Januari 1999 (hari kedua Lebaran) kira-kira pukul 08.30 WIT, warga dusun Telaga Kodok dan Benteng Karang P.Ambon dikejutkan oleh Isu akan adanya penyerangan oleh warga desa-desa tetangganya . Namun karena adanya himbauan dari para petugas di Pos Keamanan Simpatik (Telaga Kodok) agar warga setempat tetap tenang dan tidak mengadakan gerakan apa-apa, maka merekapun hanya berjaga-jaga dilingkungannya masing-masing dengan berbagai senjata yang ada. Sementara itu karena tidak adanya tanda-tanda bahaya pagi itu dari hari sebelumnya, sebagian warga yang lain pergi ke kebun atau bekerja seperti biasa, berdasarkan seorang saksi korban, petugas di Pos Keamanan juga sudah menyatakan bahwa mereka sudah meminta bantuan pengamanan dari Polda dan Polsek.

Namun kira-kira jam 09.30 WIT, menurut saksi mata yang juga korban/pengungsian (seorang guru), dari ujung jalan Telaga Kodok (arah desa Hitu) datang berbondong-bondong warga desa tetangga dalam jumlah sangat banyak, sampai-sampai kerumunan manusia itu tidak kelihatan ujungnya (diperkirakan lebih dari seribu orang). Beberapa di antara mereka yang datang itu dikenal oleh para saksi sebagai warga desa Hitu, Mamala, Morela, dan Wakal, tetapi kebanyakan tidak dikenal oleh warga setempat.

Mereka yang datang itu membawa berbagai jenis senjata tajam, antara lain : parang, samurai, panah, bom dan sebagainya, dan sebagian diantaranya memakai pelindung badan dari ban bekas serta tameng dari logam. Setibanya di depan sekolah (SD Inpres) Telaga Kodok, seorang saksi mata sempat menanyakan maksud perjalanan mereka, yang kata salah seorang pimpinannya (yang dikenal sebagai pegawai pada Kantor Pariwisata) mereka akan takbiran ke Ambon.

Warga Telaga Kodok sempat menyarankan agar mereka tidak melakukan gerakan dengan membawa senjata-senjata tajam (dan meminta warganya agar tidak melakukan gerakan apa-apa). Namun itu tidak digubris oleh gerakan masa yang datang itu. Saksi mata sempat melihat petugas-petugas keamanan kurang lebih 6 orang) dalam mobil menerobos masa yang berduyun-duyun itu dari arah belakang (Hitu) kearah Benteng Karang (arah kota Ambon), namun tidak mengatasi bahkan meninggalkan rombongan masa itu. Masa dari desa-desa tetangga itu mulai menerobos masuk kampung, merusak rumah-rumah, membakarnya dan bahkan sebagian dengan menggunakan bom untuk menggempur Gereja Katolik, Gereja Petra dan bangunan-bangunan lain. Hal ini menyebabkan penduduk dari dusun Telaga Kodok lari pontang panting menyelamatkan diri, mencari dan membawa serta keluarga mereka.

Gerakan masa terus maju menuju dusun Benteng Karang dan dihadang oleh sejumlah laki-laki dari dusun tersebut dengan mengadakan perlawanan bersenjatakan batu dan berbagai senjata yang ada. Namun karena mereka kurang siap dan banyaknya masa yang kalap menyerang dengan membabi buta, diiringi bunyi ledakan sana-sini, warga laki-laki dari kedua dusun tersebut menjadi kewalahan dan ketakutan sehingga terus mundur menyelamatkan diri dan melarikan warga perempuan, anak-anak dan orang-orang lanjut usia. Para penyerang terus maju dari dusun Benteng Karang kearah kota Ambon dengan terus menyerang warga setempat (terutama laki-laki dan ada juga perempuan) dengan batu dan senjata-senjata tajam serta membakar bangunan-bangunan yang ditemui.

Dalam penyerangan itu, seorang ibu yang sedang hamil 7 bulan sempat dibunuh secara sadis dengan cara membelah dan mengeluarkan janin dari perut sang Ibu, sedangkan anaknya yang berusia 2 tahun diambil dan dijadikan tameng dari lemparan batu penduduk yang masih bertahan. Hal mana diungkapkan oleh Ayah/Suami dari Ibu dan anak tersebut yang menyaksikan eksekusinya. Selain itu terjadi pembunuhan terhadap puluhan warga Benteng Karang dan dan penganiayaan terhadap puluhan warga Telaga Kodok dan Benteng Karang yang beragama Kristen.

Penyerangan dan pembakaran mereda setelah lewat tengah hari. Sebagian besar penyerang meninggalkan dusun Benteng Karang menuju ke arah kota Ambon, dan mereka sempat membakar rumah-rumah penduduk dan rumah-rumah orang Kristen di desa Hunuth/Durian Patah, Waiheru, Nania dan Negeri Lama (datanya sementara dihimpun), selain itu membunuh dan membakar seorang pendeta dan melukai pendeta lainnya.

Sementara masih ada sebagian penyerang yang tinggal di dusun Benteng Karang sampai sore. Para penyerang yang tinggal di dusun Benteng Karang tersebut, kemudian terus mencari penduduk yang masih tinggal di dusun tersebut. Menurut saksi mata, beberapa warga, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang melarikan diri dan bersembunyi dalam goa (di belakang Dusun Benteng Karang) di bom, beruntung bom tersebut tidak meledak, namun 2 (dua) orang warga sempat di siksa dan kemudian di bunuh di mulut goa. Para wanita dan anak-anak yang menyerahkan diri setelah keluar dari goa kemudian di antar menuju dusun Sapuri yang terletak di ujung Dusun Benteng Karang menuju ke arah kota Ambon. Saat mereka di antar, beberapa orang wanita sempat dianiaya dan dipotong ketika menyebut nama "Yesus".

Di dusun Sapuri terjadi penculikan terhadap 2 (dua) orang anak kecil, namun kedua anak ini telah dikembalikan kepada orang tua mereka oleh para penculik, yang hingga kini tidak diketahui namanya, menurut keterangan para ibu penghuni goa tersebut, saat mereka menunggu eksekusi atas diri mereka, tiba-tiba muncul truck tentara, akhirnya mereka diselamatkan dan dievakuasi ke Gereja Sejahtera, Jemaat Poka dan selanjutnya di bawa dan ditampung di Den Zipur 5.

Adapun indikasi terjadinya penjarahan barang-barang milik warga dusun Telaga Kodok dan Benteng Karang sebelum membakar rumah-rumah penduduk, karena setelah penyerangan (pada siang dan sore hari), ada beberapa saksi yang melihat mobil-mobil truck bolak balik keluar masuk dusun Benteng Karang dan Telaga Kodok dengan muatan perabotan rumah tangga dan lain-lain kearah desa Hitu.

Penyerangan, pengrusakan dan pembakaran dilakukan secara selektif terhadap warga yang non muslim (Protestan dan Katolik) serta rumah-rumah mereka, sementara rumah-rumah warga muslim luput. Menurut saksi mata, hal ini dilakukan dengan melihat tanda ikatan kain putih di pintu-pintu rumah warga non muslim, sehingga rumha-rumah tersebut luput dari pembakaran dan penjarahan.

Sampai lewat tengah hari itu, tidak ada bantuan personel keamanan dari manapun seperti yang dijanjikan sebelumnya oleh para petugas Pos Keamanan Simpatik (Telaga Kodok). Sehingga selama aksi penyerangan dalam beberapa jam tadi, tidak terjadi pencegahan ataupun penghadangan serangan oleh petugas keamanan manapun.

Tapi beberapa saksi melihat adanya petugas keamanan, saat lewat tengah hari, dengan menggunakan truck menuju ke dusun Benteng Karang. Namun setelah melakukan beberapa kali tembakan, mereka malah berpelukan dengan para penyerang lalu pergi meninggalkan lokasi kejadian.

Pembunuhan terhadap warga masyarakat Kristen di dusun Benteng Karang ini sangat keji, karena sebelum di bunuh mereka di aniaya kemudian di buang ke dalam puing-puing rumah yang sementara terbakar, malah ada yang dipenggal kecil-kecil, ditusuk dengan bambu dan kemudian di panggang seperti sate. Hal ini diungkapkan oleh saksi mata yang ikut dalam pencarian korban di lokasi, setelah terjadi peristiwa kerusuhan tersebut dimana dari 15 mayat yang ditemukan, semuanya dalam keadaan terbakar dan ada yang dipanggang seperti sate.

Sayangnya pihak kepolisian yang ikut dalam pencarian dan pemakaman tidak melakukan identifikasi korban, sehingga dari 15 mayat hanya 4 mayat yang dikenal atas nama :

    1. PETRUS LAMBBURTHUS KASMASAK (Purnawirawan ABRI)
    2. NY. MIRU
    3. ANATHONIUS TOPAMERA
    4. RINA MAKEWE (Ibu hamil yang perutnya dibelah dan janinnya dikeluarkan).

Dari rekaman peristiwa yang sempat direkam dari para saksi mata, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam kasus ini, yaitu :

  1. Selain penyerangan dan pembantaian terhadap warga masyarakat Kristen di dusun Benteng Karang dan Telaga Kodok sebagai akibat provokasi atas terjadinya kerusuhan di kota Ambon yang di mulai tanggal 19 Januari 1999, kemungkinan penyerangan dan pembantaian ini dilakukan sebagai akibat adanya informasi dari orang-orang tertentu seperti :

- AMRAN,warga Bugis yang tinggal di dusun Sapuri

- AIJO, warga Buton sekaligus Ketua Pemuda di dusun Hulung, dan

  1. Pada tanggal 21 Januari 1999, sekitar pukul 05.00 WIT, di desa Rumah Tiga, masa menyerbu rumah seorang pemuda (sopir mobil) bernama ABANG, berasal dari desa Hitu, yang diduga melakukan kontak dengan menggunakan HT dengan masyarakat Hitu di Hitu. Pemuda yang bersangkutan patut dicurigai sebagai provokator dari tragedi ini, karena kurang lebih 15 menit sebelum terjadi penyerangan di dusun Telaga Kodok, para saksi mata menemukan yang bersangkutan di ujung dusun Benteng Karang sementara mengendarai mobilnya menuju desa Hunuth dari arah desa Hitu.
  2. Seorang yang dikenal oleh saksi mata sebagai pegawai kantor pariwisata dengan menggunakan sepeda motor dinas kantor Plat merah patut dicurigai sebagai pimpinan rombongan penyerang yang berakibat pada terbunuhnya warga dusun Benteng Karang, maupun penjarahan dan terbakar rumah-rumah penduduk, rumah ibadah dan berbagai sarana umum lainnya.
  3. Perlu dipertanyakan sampai sejauh mana tanggung jawab petugas keamanan yang tidak menghalangi para penyerang, malah memberikan jaminan agar warga Telaga Kodok dan Benteng Karang masuk dan tetap tinggal dalam rumah mereka masing-masing, yang berakibat pada terbunuhnya warga masyarakat dan terbakarnya beserta rumah-rumah mereka, gereja dan fasilitas umum lainnya.
  4. Para saksi mata menerangkan bahwa para penyerang datang dari beberapa desa seperti Hitu, Wakal, Mamala dan Morela dengan mempergunakan senjata tajam (parang, tombak, panah-panah, bom dan lain sebagainya), dalam suatu rombongan yang tertata rapi, terdiri dari laki-laki maupun perempuan yang mengambil peran sebagai pelayan dengan menyediakan makanan (bekal) bagi para penyerang laki-laki , dengan strategi penyerangan dalam bentuk beberapa rombongan atau setidak-tidaknya terbagi dalam 2 (dua) rombongan, dimana rombongan pertama bertugas menghalau masa dan memberikan tanda pada rumha-rumah warga muslim agar tidak dibakar, sedangkan rombongan kedua bertugas membakar serta membom rumah-rumah rakyat dan gereja serta sarana dan prasarana umum lainnya. Suatu petunjuk bahwa penyerangan telah direncanakan terlebih dahulu.
  5. Dari keterangan para saksi mata dan hasil pengecekan ditempat penampungan membuktikan bahwa ada warga masyarakat yang hilang karena hingga kini belum diketahui dimana keberadaan mereka dan juga diculik oleh para penyerang, walaupun beberapa diantara mereka (umumnya anak-anak) telah dikembalikan kepada keluarganya, tanpa diketahui siapa sebenarnya yang telah mengembalikan mereka.
  6. Para saksi mata umumnya tidak mengenal para penyerang, tetapi ada beberapa penyerang yang sempat dikenal, antara lain :

      1. IBRAHIM NASELA (warga desa Hitumesing), yang membunuh ayah dari JOHANIS SAMI.
      2. USMAN NASELA (warga desa Hitu) yang bertindak sebagai kapitan dan yang memimpin para penyerang.
      3. MALIK PELU, pegawai Bandara Pattimura (warga desa Hitu) yang membongkar rumah-rumah masyarakat dengan mempergunakan martil besar,
      4. DJAFAR UENG, guru olah raga pada SD Negeri II Hitu (warga desa Hitu) yang membakar rumah warga Benteng Karang.
      5. MUHAMAD SALA WAULAT, karyawan di Mangole (warga desa Hitu) yang membakar rumah warga Benteng Karang.
      6. MUHAMAD PELU, sopir mobil (warga desa Hitu) yang memotong Ibu NON SELANNO dan SARAH MAKEWE.
      7. RADJAB, asal Buton (warga desa Morela) yang membawa dan membom rumah-rumah warga dusun Benteng Karang.
      8. AMINA PELLU, guru olah raga pada SD Negeri I Hitu (warga desa Hitu) yang mengantar makanan bagi para penyerang.

Para penyerang dan pembantunya jika ditangkap, diselidiki dan disidik, mungkin akan membongkar siapa provokator dibelakang aksi penyerangan ini.

Perlu juga dikemukakan disini bahwa para saksi mata, baik yang berdomisili di Benteng Karang maupun karyawan BBI (Balai Benih Induk-Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Maluku), yang berdomisili disekitar dusun Benteng Karang semula merasa bahwa mereka aman-aman saja, karena walaupun warga dusun Benteng Karang yang beragamaKristen telah dibunuh dan rumah-rumah mereka telah dimusnahkan, akan tetapi mereka masih sempat bersama-sama para karyawan BBI lainnya meloloskan Kepala BBI, Sdr. SUROSO dan keluarganya yang beragama Islam kearah dusun Telaga Kodok saat pecahnya peristiwa tanggal 20 Januari 1999, namun Sdr. SUROSO dan beberapa karyawan harian BBI lainnya, antara lain : ACANG, SUGENG (keponakan Sdr. SUROSO) dfan LA ONDE, patut dicurigai turut terlibat dalam kasus ini, baik sebagai provokator maupun sebagai saksi mata pembakaran atas rumah-rumah dinas BBI dari karyawan yang beragama Kristen, berikut penjarahan atas barang-barang mereka diketahui oleh Sdr. SUROSO dan para karyawan harian BBI yang nama-namanya tersebut diatas.

Perlu ditambahkan bahwa menurut saksi mata yaitu mereka, para warga masyarakat dusun Telaga Kodok dan Benteng Karang bahwa setelah terjadinya kerusuhan telah terjadi penjarahan (pencurian) secara besar-besaran yang dilakukan oleh pihak penyerang terhadap hasil-hasil pertanian dan ternak-ternak mereka.

Akibat dari penyerangan ini, warga Kristen Jemaat Telaga Kodok dan Benteng Karang mengalami kerugian sebagai berikut :

  1. Dusun Telaga Kodok
  2. * Korban meninggal : tidak ada

    * Korban hilang : tidak ada

    * Korban luka berat : tidak ada

    * Korban luka ringan : 2 orang

    * Rumah (terbakar) : 4 orang

    * Gereja (terbakar) : 38 buah

    * Korban mengungsi : 1 buah (Katolik)

    * Kerugian mengungsi : 42 KK (174 jiwa)

    * Kerugian materil : lenyapnya harta benda (data sedang dikumpulkan)

     

  3. Dusun Benteng Karang

* Korban meninggal : 15 orang (4 orang teridentifikasi dan 11 orang tidak teridentifikasi)

* Hilang/belum diketahui nasibnya : 9 orang

* Luka berat : 21 orang

* Luka ringan : 28 orang

* Rumah (terbakar) : 207 buah

* Gereja (terbakar) : 3 buah (GPM, Sidang Jemaat Allah dan Logos)

* Pastori (terbakar) : 3 buah (GPM, Sidang Jemaat Allah dan Logos)

* Balai Pengobatan (terbakar): 1 buah (GPM)

* Balai Serba Guna (terbakar): 1 buah

* Sekolah (terbakar) : 1 buah (3 ruangan)

* Koran mengungsi : 209 KK (1109 Jiwa)

* Kerugian material : lenyapnya harta benda (data sedang dikumpulkan)

  1. Rombongan "Bibble Camp" GKPB di Kompleks Field Station-Universitas Pattimura Hila.

Pada tanggal 17 Januari 1999 kira-kira jam 17.30 WIT, rombongan "Bibble Camp" dari GKPB (Gereja Kristus Perjanjian Baru) dengan kurang lebih 120 orang, berangkat dari Ambon menuju kompleks Field Station Universitas Pattimura di Hila untuk melakukan kegiatan "Bibble Camp". Direncanakan selama 3 (tiga) hari dan mereka baru akan kembali pada tanggal 20 Januari 1999 sekitar jam 11.00 WIT.

Pada tanggal 20 Januari, pukul 11.00 WIT tersebut, saat mereka akan meninggalkan lokasi kegiatan, mobil yang akan mereka tumpangi ternyata tidak mampu menampung seluruh peserta. Rombongan kemudian memutuskan mengutus HENDRIK HURSEPUNY, MECKY SAINYAKIT (pendeta) dan supir mobil MATAHERU untuk pergi ke desa Wakal atau sekitarnya mencari mobil tambahan untuk mengangkut rombongan.

Menurut saksi mata, setibanya didesa Wakal, MECKY dan MATAHERU (supir) dikeluarkan dari mobil, langsung dibunuh dan di bakar dengan mobil. Sedangkan HENDRIK (polisi), karena pernah bertugas di desa Wakal, maka ia dilindungi dan tidak dibunuh.

Sementara rombongan yang menunggu di kompleks Field Station, yang waktu itu berada di dalam aula mendengar suara "Allahu Akbar" berulang kali dan ternyata para penyerang dengan mobil truck telah datang dan memasuki kompleks Field Station untuk menyerang mereka. Mendengar suara-suara tersebut, pimpinan rombongan memerintahkan seluruh peserta untuk masuk ke kamar masing-masing untuk melindungi diri sambil berdoa.

Sementara berada dalam kamar dan berdoa, penyerang memotong jendela dan pintu maupun ambang pintu dan jendela sambil berteriak agar mereka segera keluar, kalau tidak mereka akan dibunuh. Karena takut peserta keluar dari kamar masing-masing, sementara ada peserta wanita yang berada di dalam kamar dan peserta yang sudah meloncat dan lari melalui jendela.

Rombongan yang keluar dari ruangan, kemudian diiring ke lapangan dan sementara itu mereka di pukul dan ada yang diseret sementara mereka diluar, seorang peserta yang kemudian dikenal bernama ROY PONTOH di bunuh dengan cara dipotong, yang menurut saksi mata, karena ketika Roy ditanya "kami siapa ?" maka secara berulang kali ia menjawab "saya tentara Allah", bersamaan dengan itu peserta lain masing-masing HENGKY PATTIWAEL, HERMANUS KURSAIN dan seorang karyawan Field StationUniversitas Pattimura, yang belum diketahui namanya ikut dibunuh oleh penyerang. Tragisnya setelah mereka dibunuh oleh penyerang, mayat-mayat mereka dilemparkan ke dalam got dan ditinggalkan begitu saja selama beberapa hari, kemudian baru dievakuasai oleh petugas keamanan. Rombongan yang tadi-tadinya digiring keluar ruangan (kira-kira 90 orang), kemudian disuruh masuk lagi ke ruangan. Mereka kemudian disandera dan bersamaan dengan itu penyerang mengambil/menjarah uang-uang yang ada didalam tas mereka.

Kira-kira pukul 15.00 WIT, terdengar suara speed boat di pantai dan 2 (dua) orang penyerang keluar menuju pantai dan penyerang lainnya keluar dan mengatakan akan pergi ke Benteng Karang, ketika para penyerang meninggalkan mereka, datang 1 (satu) orang buton dan mengatakan kepada rombongan yang ada, kalau ada mobil yang lewat supaya segera melarikan diri.

Melihat kondisi tersebut, rombongan segera terpecah menjadi beberapa kelompok, diantaranya kelompok anak-anak yang berumur 5 s/d 15 tahun sebanyak 8 (delapan) orang yang lari ke arah pantai dan dengan mempergunakan perahu yang sudah bocor, mereka berenang ke tengah laut dan kemudian di tolong oleh pengemudi perahu motor yang bernama Pak SALEH, warga Asilulu dan disembunyikan di dalam kapal rusak di pantai dan selanjutnya atas bantuan Bapak USMAN ELLY, Bapak ASIS MAHULETE dan beberapa penduduk, mereka ditampung untuk beberapa hari dan akhirnya diserahkan kepada petugas untuk diantar ke Ambon.

Kelompok berikut adalah beberapa kelompok kecil yang melarikan diri ke hutan. Kelompok ini, setelah keadaan agak tenang ada yang kembali bergabung dengan kelompok yang tetap tinggal di kompleks Field Station Unversitas Pattimura, yang kemudian dievakuasi oleh pihak keamanan pada tanggal 21 Januari 1999 di Koramil Hitu, sedangkan kelompok lain tetap tinggal di hutan hingga keadaan tenang barulah mereka melaporkan diri kepada pihak keamanan dan dibawa ke Ambon.

Termasuk dalam kelompok ini adalah Ny. TALAHATU dan anaknya yang kemudian dievakuasi oleh petugas keamanan ke asrama tentara Waiheru.

Khusus rombongan yang tetap tinggal di kompleks Field Station Universitas Pattimura – Hila, menurut saksi mata, pada tanggal 20 Januari 1999 pada jam 17.00 WIT, ada rombongan penyerang yang berjumlah kira-kira 10 (sepuluh) orang mendatangi mereka dan meminta maaf dan mengatakan bahwa yang mereka cari orang laki-laki besar (dewasa) bukan anak-anak atau wanita. Jam 23.00 WIT juga datang penyerang dan mereka hanya merusak gedung. Dan pada jam 04.00 WIT pagi, tanggal 21 Januari 1999, ada rombongan penyerang yang datang dengan senter, tetapi mereka tidak melihat rombongan "Bibble Camp" tersebut.

Saksi mata juga menyebutkan pada jam 07.00 WIT, tanggal 21 Januari 1999 ada 2 (dua) orang warga Buton yang datang dan mengatakan bahwa yang menyerang adalah orang-orang Wakal.

Akibat dari penyerangan tersebut, rombongan "Bibble Camp" GKPB mengalami kerugian sebagai berikut :

  1. Korban meninggal 6 orang, masing-masing :

  1. Korban luka ringan karena dipukul dan diseret
  2. Hilangnya sejumlah uang karena dijarah oleh penyerang.

  1. Dusun Wahatu (desa Wakal)
  2. Dusun Wahatu (desa Wakal) pada umumnya berpenduduk warga masyarakat Buton yang beragama Islam. Di dusun ini bermukim juga 3 (tiga) keluarga atau 13 (tigabelas) jiwa yang beragama Kristen, karena para kepala keluarganya berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar. Mereka ini ikut menjadi korban kerusuhan Ambon, tanggal 20 Januari 1999. Menurut para saksi mata sebelum terjadinya peristiwa kerusuhan, tanggal 20 Januari 1999, ada seorang warga desa Wakal yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar pada dusun Wahatu, yang bernama MUHAMAD PATAH, yang telah memberikan informasi sepanjang dusun Wahatu menuju desa Hila bahwa "siap-siap, ada orang mau serang".

    Dengan informasi ini, para korban terutama ke tiga keluarga Kristen tersebut memikirkan bagaimana cara agar mereka dapat menghindarkan diri dari ancaman tersebut. Kesempatan mana mereka gunakan untuk bersembunyi pada keluarga-keluarga asal suku Buton di dusun Wahatu, diantaranya keluarga LA USU, LA MUSLIM dan HASAN.

      Kira-kira jam 14.00 WIT, tanggal 20 Januari 1999, ada seorang warga desa Wakal, yang kemudian dikenal bernama YUSUF JAMAL, berteriak-teriak di dalam dusun Wahatu bahwa "kamu orang Wahatu jangan sembunyi itu orang-orang Kristen, keluarkan mereka untuk dibunuh. Orang Kristen itu tidak punyak perasaan manusia. Dorang cincang anak-anak bayi dalam kandungan ibunya. Katorang orang Islam ini punya perasaan manusia sangat tinggi dibandingkan dengan mereka. Orang Benteng Karang itu sangat biadab, dorang bakar mesjid Sapuri", (catatan : Sapuri terletak antara dusun Hulung dan dusun Benteng Karang).

    Kemudian kira-kira pada jam 18.00 WIT, muncul seorang warga desa Wakal (tinggal di Wahatu), yang dikenal bernama HARIS mencoba untuk merusak rumah keluarga LEHA (salah satu dari 3 keluarga Kristen yang menyembunyikan diri), namun tidak berhasil.

    Menurut saksi mata, pada tanggal 21 Januari 1999, terjadi pelemparan pada rumah-rumah Gereja oleh para pemuda desa Wakal dan mereka mengancam untuk membakar rumha-rumah guru tersebut. Namun usaha mereka ini dihalang-halangi oleh warga Buton desa Wahatu yang masih simpati kepada 3 (tiga) keluarga guru yang beragama Kristen tersebut.

    Sementara itu datang informasi bahwa sekitar malam hari, rumha-rumah warga dusun Wahatu akan digeledah, jangan sampai ada warga dusun Wahatu yang menyembunyikan orang-orang Kristen. Mengantisipasi informasi tersebut, maka pada hari kamis, tanggal 21 Januari 1999, beberapa warga suku Buton dusun Wahatu mengantar (melarikan) para guru tersebut bersama keluarganya ke hutan dan bersembunyi di rumah-rumah kebun mereka secara terpisah antara satu keluarga dengan keluarga lainnya.

    Selanjutnya, pada hari Jumaat, tanggal 22 Januari 1999, keluarga guru-guru tersebut disatukan lagi dan mereka diungsikan ke hutan yang jauh dari petuanan desa Wakal untuk menghindari diri dari kejaran para perusuh (warga desa Wakal). Ketiga keluarga tersebut ditempatkan oleh para orang Buton dusun Wahatu tersebut di atas gunung yang agar curam yang berjarak kurang lebih 3 (tiga) km dari dusun Wahatu.

    Bersamaan dengan itu, diperoleh informasi bahwa rumah keluarga LEHA sudah dirusak beserta barang-barangnya, malah orang-orang Wakal mengancam untuk membakarnya, namun dhalang-halangi oleh warga dusun Wahatu.

    Kemudian pada hari minggu, tanggal 24 Januari 1999, kira-kira jam 17.00 WIT, beberapa orang Buton menyampaikan kepada para keluarga tersebut bahwa mereka sudah melapor kepada pihak keamanan (Koramil Leihitu), dan para keluarga tersebut segera turun dari gunung dan tiba di dusun Wahatu kira-kira jam 18.00 wit, dan setelah agak malam, dengan bantuan 2 (dua) orang anggota Koramil, mereka di antar ke Pos Koramil Leihitu. Besoknya tanggal 25 Januari 1999, kira-kira jam 12.00 WIT, ketiga keluarga tersebut kemudian diantar ke tempat penampungan Den Zipur 5, desa Rumah Tiga.

    Akibat penyerangan tersebut, 1 (satu) buah rumah hancur akibat di rusak oleh warga masyarakat desa Wakal dan korban mengungsi 3 KK atau 13 jiwa.

     

  3. Desa Hative-Besar dan Dusun Kamiri

Kerusuhan kota Ambon yang dimuali tanggal 19 Januari 1999 telah mengakibatkan pengungsian warga masyarakat ke beberapa desa pinggiran yang untuk sementara dianggap aman. Bersamaan dengan itu, pada tanggal 20 Januari 1999, kira-kira jam 04.00 s/d 10.30 WIT, dusun Kamiri desa Hative Besar berdatangan warga masyarakat dari pantai pasar (pasar Ambon lama) dengan mempergunakan angkutan laut, speed boat.

Menyikapi kondisi tersebut, maka Kepala Desa Hative Besar dengan dibantu oleh aparat keamanan (Kapolsek Baguala) berusaha untuk menekan arus pengungsian tersebut dengan meminta agar pengungsi tidak turun ke darat di dusun Kamiri. Namun usaha ini sia-sia, karena ketika Kepala Desa dan pihak keamanan meninggalkan lokasi, para pengungsi tetap tinggal dan malah tetap berlabuh di tengah-tengah laut.

Sekitar kira-kira jam 12.00 WIT, para pengungsi yang berada di tengah laut tersebut merapat dan kembali menurunkan masyarakat di dusun Kamiri. Kehadiran para pengungsi di dusun Kamiri tersebut, oleh warga masyarakat desa Hative Besar yang beragama Kristen di sekitar dusun Kamiri dianggap sebagai ancaman terhadap mereka.

Karena itu, kira-kira pukul 14.00 WIT, mereka meminta bantuan warga Kristen dari dusun Souhuru dan dusun Waalia untuk menjaga perbatasan antara orang-orang Islam dan orang-orang Kristen di desa Kamiri.

Menjelang pukul 17.30 WIT, ada tindakan saling melempar batu dari kedua belah pihak, tanpa diketahui siapa yang melempar lebih dulu, diikuti dengan tindakan saling menyerang diantara warga kedua belah pihak terjadi pada pukul 17.30 WIT, dengan mempergunakan berbagai alat tajam seperti parang, tombak, panah dan batu.

Dalam penyerangan ini, warga Kristen Hative Besar sempat membakar sebuah kios milik warga Buton yang terletak di ujung Kali Wailete. Tindakan pembakaran kios tersebut dibalas dengan pembakaran 1 (satu) buah gudang milik toko Mas Umum, 4 (empat) buah rumah guru diluar pagar tembok sekolah, 2 (dua) buah rumah milik warga Kristen yang berdekatan dengan rumah guru dan merusak 2 (dua) rumah warga Kristen beserta segala isinya oleh warga Buton, Bugis dan Makasar, yang berdomisili di dusun Kamiri bersama-sama dengan para pengungsi yang datang dari Ambon. Kejadian ini berlangsung hingga pukul 23.30 WIT.

Setelah itu keadaan menjadi tenang, datang informasi (tidak diketahui siapa yang membawa informasi tersebut) bahwa orang-orang Buton, Bugis dan Makasar akan kembali menyerang warga Hative Besar pada jam 04.00 WIT, tanggal 21 Januari 1999.

Informasi tersebut ternyata benar, pada tanggal 21 Januari 1999, kira-kira jam 05.00 WIT, warga masyarakat Buton, Bugis dan Maksar (beragama Islam) kembali membakar 8 (delapan) buah rumah guru yang ada di dalam kompleks sekolah dan 7 (tujuh) buah rumah penduduk yang beragama Kristen. Pembakaran tersebut dibalas oleh warga masyarakat Kristen Hative Besar dengan membakar habis seluruh rumah penduduk, rumah ibadah dan berbagai sarana/prasarana lainnya di dusun Kamiri.

Pada saksi mata menjelaskan, dalam serangan pagi itu, masyarakat Buton, Bugis dan Makasar di dusun Kamiri sempat mempergunakan 6 (enam) buah lampu sorot, dan sebagian lampu itu dirusak, sedangkan satu diantaranya kini di simpan oleh Ketua Majelis Jemaat Wayame.

Terlepas dari alasan-alasan yang sudah dijelaskan diatas, yang menjadi pemicu dalam peristiwa ini, namun perlu diperhatikan bahwa sebelum terjadinya peristiwa ini, pada Desember 1998, pernah terjadi pembakaran sebuah kios minyak milik warga Buton di dusun Kamiri oleh warga Hative Besar yang lainnya, yang juga dapat dijadikan salah satu sebab terjadinya peristiwa tersebut.

Akibat dari peristiwa tersebut, jatuh korban dan kerugian materil lain yang dapat diperinci sebagai berikut :

  1. Pihak desa Hative Besar (Warga Kristen)
  2. * Rumah terbakar : 30 buah

    * Sekolah terbakar : 1 buah

    * Gudang milik toko Mas Umum terbakar : 1 buah

    * Rumah yang dirusak : 4 buah

    * Korban mengungsi : sementara di data

  3. Pihak dusun Kamiri
  4. * Korban meninggal : 4 orang, namanya belum diketahui

    * Korban luka berat : 10 orang (dirawat di rumah sakit)

    * Korban luka ringan : -/+ 100 orang (pengobatan di asrama 733

    Wayame)

    * Rumah terbakar : 122 buah rumah

    * Mesjid terbakar : 1 buah

    * Mushola terbakar : 1 buah

    * Speed Boat terbakar : 3 buah

    * Korban mengungsi : sementara di data

     

  5. Dusun Hila Kristen – Desa Kaitetu

Kerusuhan Ambon yang dimulai tanggal 19 Januari 1999 berdampak pula di dusun Hila Kristen - Desa Kaitetu.

Pada tanggal 19 Januari 1999, antara jam 14.00 s/d 15.00 WIT, ada beberapa warga dusun Hila Kristen yang menerima informasi dari Ambon bahwa di Kota Ambon telah terjadi kerusuhan antara warga desa Batu Merah dengan warga masyarakat Mardika. Berdasarkan informasi tersebut, staf perangkat dusun Hila Kristen, Saudara FERDINAND LEIWAKABESSY serta seorang tokoh masyarakat Kristen dusun Hila Kristen, saudara PETRUS TAMTELAHITU, mengambil prakarsa mengadakan pertemuan dengan para pemuda dusun Hila Kristen yang direncanakan akan berlangsung pada jam 20.00 WIT bertempat dirumah saudara FERDINAND LEIWAKABESSY.

Rapat tersebut akhirnya berlangsung pada jam 20.00 WIT, dimana dalam pertemuan tersebut saudara H. LESBASA SH memberikan pengarahan yang pada prinsipnya meminta agar para pemuda dusun Hila Kristen tidak perlu terpancing dengan peristiwa di Kota Ambon, namun perlu mewaspadai setiap perkembangan. Untuk itu perlu digiatkan siskamling.

Pada tanggal 20 januari 1999, kira-kira jam 08.00 WIT, saudara ISMAIL SELLANG (warga desa Hila Islam) memberitahukan kepada beberapa warga dusun Hila Kristen bahw warga desa Wakal akan menyerang warga dusun Hila Kristen, tetapi jangan takut, karena warga desa Hila Islam akan siap untuk menghadapi/mengusir mereka. Jadi tenang saja di rumah masing-masing.

Kira-kira jam 09.30 WIT datang seorang anggota Polres P. Ambon, warga desa Kaitetu yang bernama IMRAN TATISINA, yang memberitahukan kepada saudara H. LESBASA SH, bahwa Bapak dan warga desa Hila Kristen harap tenang saja di rumah masing-masing tidak perlu terpengaruh dengan berita-berita yang tidak jelas sumbernya.

Kemudian, sekitar jam 09.45 WIT, saudara ISMAIL SELLANG (warga desa Hila Islam) kembali mendatangi Saudara H. LESBASA SH dan mengatakan bahwa Bapak serta warga desa Hila Kristen tetap tenang saja di rumah masing-masing karena warga desa Hila Islam yang akan siap untuk menghadapi orang-orang Wakal apabila mereka masuk menyerang warga dusun Hila Kristen.

Selanjutnya, saudara ISMAIL SELLANG mengatakan bahwa apabila melihat orang-orang yang bukan warga desa Hila, potong (bacok) saja dan buang mayatnya.

Kira-kira jam 10.30 WIT, saudara SALEH OLLONG memberitahukan kepada saudara H. LESBASA SH bahwa "bung, jangan takut, tenang saja dirumah masing-masing, nanti orang Hila Islam yang akan menghadang orang Wakal apabila mereka berani masuk menyerang warga dusun Hila Kristen.

Namun, apa yang dijanjikan oleh warga desa Hila Islam, masing-masing ISMAIL SELLANG dan SALEH OLLONG maupun anggota Polres P. Ambon warga Desa Kaitetu, saudara IMRAN TATISINA itu tidak menjadi kenyataan.

Hal ini disebabkan karena pada kira-kira jam 12.00 s/d 13.00 WIT, mulai tampak beberapa warga desa Hila Islam dengan memakai ikat kepada berwarna putih memasuki dan berkeliaran di ujung-ujung jalan perbatasan antara desa Hila Islam dan dusun Hila Kristen.

Menurut saksi mata, pada kira-kira jam 01.30 WIT, tanggal 21 Januari 1999, tampak masa dari desa Hila Islam dengan menyerukan "ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR" secara berulang kali, mulai melakukan pelemparan batu terhadap rumha-rumah penduduk warga dusun Hila Kristen yang diikuti dengan pembakaran beberapa buah rumah penduduk dusun Hila Kristen serta gedung Gereja Tua Imanuel.

Akibat penyerangan tersebut (pembakaran rumah penduduk dan Gereja Tua Imanuel), maka warga dusun Hila Kristen menjadi panik serta lari dan menghindarkan diri di rumah-rumah penduduk desa Kaitetu (beragama Islam), sedangkan ada beberapa warga dusun Hila Kristen lainnya yang berusaha untuk mempertahankan gedung Gereja Imanuel, namun usaha mereka sia-sia akibat serbuan yang datangnya secara bergelombang dari warga desa Hila Islam.

Menurut saksi mata, beberapa dari warga desa Hila Islam yang sempat mereka kenal dalam peristiwa pembakaran rumah-rumah penduduk dan gedung Gereja Imanuel ini, antara lain :

  1. MOKHTAR TATISINA 10. JUSUF LATIN
  2. BUANG SELAYAR 11. JUNEN HATALA
  3. RAJAB ELLY 12. ARIFIN LATING
  4. MUSTAFA SOPALIU 13. IBRAHIM HATALA
  5. MUCHLIS LATING 14. UMAR HASAWALA
  6. SALMAN TATISINA 15. SAIFUL KAPITANHITU
  7. JUSUF LOLI alias TAKUT NASI 16. AKHMAD LATING
  8. MUDRIK MAHULAU 17. DUMAIN ULUSELANG
  9. ISNAEN TATISINA 18. SAMIUN LATING (wanita)

Para saksi mata juga menjelaskan bahwa pada saat terjadinya aksi pelemparan batu terhadap rumha-rumah penduduk warga dusun Hila Kristen yang dilakukan oleh warga desa Hila Islam, tampak ada beberapa anggota ABRI dan salah satu diantaranya adalah Babinsa, dimana anggota-anggota ABRI tersebut tidak melakukan upaya apa-apa untuk mencegah atau menghalangi para penyerang/perusuh tersebut.

Akibat dari penyerangan tersebut, warga desa Hila Kristen mengalami kerugian sebagai berikut :

* Korban meninggal : 1 orang

* Korban luka berat : 2 orang

* Korban luka ringan : 1 orang

* Rumah penduduk terbakar : 60 buah

* Gereja terbakar : 1 buah

* Korban mengungsi : 119 KK (551 jiwa)